Sebagai sebuah ilmu lintas-disiplin (cross-disciplinary study ), Islamic Marketing menggali dan menganalisis tentang bagaimana Muslim, baik sebagai Pemasar maupun Konsumen, dipengaruhi oleh ajaran Islam ketika mereka melakukan aktivitas-aktivitas pemasaran. Muslim menggunakan ajaran Islam sebagai referensi utama saat mempertimbangkan
keputusan-keputusan pemasaran, seperti memasarkan atau mengonsumsi suatu produk. Berbagai kajian dari pakar-pakar Islamic Marketing menyebutkan bahwa ajaran Islam yang menjadi referensi bagi praktik pemasaran membentuk tiga dimensi utama yaitu: normatif, etika, dan kesejahteraan sosial. Ketiganya lalu memberikan pengaruh terhadap pemasaran saat proses value creation. Mereka melebur dan menghasilkan value yang baru. Sehingga, value dari proses Islamic Marketing menjadi berbeda dari pemasaran konvensional.
Mengapa Islamic Marketing perlu mengusung value yang baru? Karena Muslim ingin menghadirkan Allah Subhanahu wa ta'ala melalui dimensi-dimensi tersebut ketika mereka berpartisipasi di pasar. Dalam Islamic Marketing, kehadiran Allah Subhanahu wa ta'ala menjadi fundamental bagi relasi Pemasar dan Konsumen.
Sebagai sebuah ilmu lintas-disiplin (cross-disciplinary study ), Islamic Marketing menggali dan menganalisis tentang bagaimana Muslim, baik sebagai Pemasar maupun Konsumen, dipengaruhi oleh ajaran Islam ketika mereka melakukan aktivitas-aktivitas pemasaran. Muslim menggunakan ajaran Islam sebagai referensi utama saat mempertimbangkan keputusan-keputusan pemasaran, seperti memasarkan atau mengonsumsi suatu produk. Berbagai kajian dari pakar-pakar Islamic Marketing menyebutkan bahwa ajaran Islam yang menjadi referensi bagi praktik pemasaran membentuk tiga dimensi utama yaitu: normatif, etika, dan kesejahteraan sosial (Alserhan, 2011; Hussnain, 2011; Alom & Haque, 2011; Wilson, 2012; Jafari, 2012; Abuznaid, 2012). Ketiganya lalu memberikan pengaruh terhadap pemasaran saat proses value creation (Kadirov, 2019). Mereka melebur dan menghasilkan value yang baru. Sehingga, value dari proses Islamic Marketing menjadi berbeda dari pemasaran konvensional.
Mengapa Islamic Marketing perlu mengusung value yang baru? Karena Muslim ingin menghadirkan Allah Subhanahu wa ta'ala melalui dimensi-dimensi tersebut ketika mereka berpartisipasi di pasar. Dalam Islamic Marketing, kehadiran Allah Subhanahu wa ta'ala menjadi fundamental bagi relasi Pemasar dan Konsumen.
Sekilas tentang Value
Setiap bisnis dimulai dari penciptaan value dan pemasaran yang melakukan prosesnya. Value adalah segala sesuatu yang memberi manfaat atau berguna bagi manusia lain. Dalam pemahaman yang luas, hampir semua aktivitas memiliki value , mulai dari membuka pintu untuk seseorang, menulis cerita, sampai dengan mengubah energi matahari menjadi energi listrik untuk menghidupkan kipas angin.
Selain proses menciptakan value , dalam pemasaran juga terjadi proses mengukur value. Proses tersebut dilakukan oleh Pemasar, yang disebut sebagai proses menentukan real/actual value, dan Konsumen, yang disebut sebagai proses menemukan perceived/intangible value. Real/actual value adalah proses menghitung apakah value tersebut menghasilkan manfaat yang lebih besar ketimbang usaha/biaya yang dikeluarkan untuk menciptakannya, atau sebaliknya. Sedangkan, perceived/intangible value merupakan proses menduga apakah value tersebut dapat memberikan manfaat yang cukup, atau tidak.
Perhitungan-perhitungan seperti itu seringkali dipakai untuk memenuhi keperluan-keperluan yang bersifat ekonomis, seperti untuk praktik bisnis. Karena, tidak semua value perlu dilakukan proses perhitungan seperti itu. Hanya untuk konteks bisnis, suatu value perlu dipastikan lebih dulu tentang seberapa besar real/actual dan perceived/intangible sehingga dapat ditukar atau ditransaksikan dengan sesuatu yang lain sebagai imbalan.
#1 Dimensi Normatif (Syari ’ ah)
Dimensi ini menggunakan pertimbangan halal (wajib-sunnah-mubah-makruh) atau haram sebagai penanda fundamental. Bagi kebanyakan Muslim, pertimbangan halal-haram lebih dipengaruhi oleh bagaimana religiusitas mereka sehari-hari. Semakin dalam tingkat religiusitas, maka semakin jauh mereka mempertimbangkan tentang halal-haram dalam kehidupan, termasuk dalam aktivitas pemasaran, seperti saat melakukan proses menciptakan value.
Salah satu cara mengukur religiusitas Muslim adalah dengan memperhatikan indikator-indikator seperti: belief, ritual, devotion, experience, knowledge, dan consequences (El-Menouar, 2014).
1. Belief
Bagaimana Muslim mengimani Allah Subhanahu wa ta'ala dan Rasul-Nya, atau bagaimana mengimani Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman dan petunjuk hidup;
2. Ritual
Bagaimana Muslim menunaikan ritual-ritual utama dalam Islam, seperti yang terdapat dalam Rukun Islam: solat, puasa, zakat, atau haji;
3. Devotion
Bagaimana Muslim menjadikan berdoa kepada Allah atau mengaji Qur’an sebagai sebuah kebiasaan atau rutinitas;
4. Experience
Bagaimana Muslim merasakan kehadiran Allah dalam kehidupannya, bahwa Dia sesungguhnya sangat dekat dan senantiasa melihat/menilai segala tingkah-laku;
5. Knowledge
Sejauh mana Muslim memahami Islam melalui hasil (minimal) dari mengkaji Qur’an dan Hadist/Sunnah;
6. Consequences
Bagaimana Muslim menerima konsekuensi-konsekuensi yang timbul akibat dari tindakan-tindakan mereka. Contoh, konsekuensi dari minum alkohol, makan yang halal, berjabatan tangan dengan lawan jenis, pemisahan jenis kelamin saat pernikahan dan perayaan lainnya, mendengarkan musik, dan lain-lain.
#2 Dimensi Etika
Dimensi ini menggunakan pertimbangan-pertimbangan etis yang diajarkan dalam Islam (Islamic Ethics ). Etika Islam menjadi pegangan bagi Muslim guna menjaga perilaku, perkataan, pemikiran, dan niat ketika melakukan interaksi atau relasi dengan keluarga, tetangga, teman, masyarakat untuk segala urusan kehidupan sosial manusia, termasuk dalam urusan bisnis. Islam juga sudah memiliki etika tersendiri untuk itu.
Dari banyak macam etika yang sudah dijelaskan oleh Quran dan Hadist atau seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Sall ā Allāhu 'alayhi wa-sallam , terdapat tiga etika utama yang dapat dijadikan sebagai rujukan saat melakukan bisnis, termasuk saat pemasaran menjalankan proses menciptakan value. Ketiganya yaitu: jujur, adil, dan amanah.
1. Jujur
Tercermin ketika Pemasar tidak menutupi cacat atau kekurangan dari suatu value yang akan ditawarkan kepada para Konsumen.
2. Adil
Terlihat saat Pemasar tidak membeda-bedakan manfaat dari suatu value yang akan didistribusikan kepada para Konsumen.
3. Amanah
Terpancar ketika Pemasar tidak mengurangi manfaat dari suatu value yang akan diberikan kepada para Konsumen.
#3 Dimensi Kesejahteraan Sosial
Islamic Marketing lebih mengutamakan kesejahteraan sosial ketimbang kesejahteraan individu atau kelompok tertentu (baca: Pemasar). Untuk itu, Islamic Marketing lebih memilih strategi maksimalisasi-nilai (value-maximization strategy ) daripada maksimalisasi-keuntungan (profit-maximization strategy) (Saeed et al, 2001; Ali et al, 2013). Yaitu, Pemasar yang sungguh-sungguh menciptakan value yang bermanfaat dan memberi solusi nyata kepada Konsumen dan masyarakat. Pemasar mengambil peran itu dengan niat ingin meningkatkan standar hidup para konsumennya agar terwujud kesejahteraan sosial, dan bukan malah senantiasa agresif mengambil keuntungan besar dalam jangka pendek, hanya untuk mewujudkan kesejahteraan pribadi dan kelompoknya saja.
Untuk mewujudkan dimensi kesejahteraan sosial dapat digunakan pendekatan manusiawi (humanistic approach ) dan pelestarian lingkungan (environmental sustainability approach). Kedua pendekatan tersebut sesungguhnya sudah diusung oleh Qur’an dalam banyak ayat, antara lain seperti:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
-Qur ’an 60:8
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
-Qur ’an 28:77
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
-Qur ’an 7:56
Dengan pendekatan manusiawi, Pemasar seharusnya tidak mengeksploitasi psikologis Konsumen dengan menawarkan manfaat dari suatu value guna mencapai tujuannya memperoleh keuntungan semaksimal mungkin. Pemasar seharusnya tidak lagi memandang Konsumen hanya sebagai ‘dompet’ yang harus dikuras isinya, melainkan sebagai manusia yang memiliki hak untuk senantiasa diperlakukan secara manusiawi. Sehingga kemudian tatanan pasar baru yang lebih humanis dapat terwujud.
Sedangkan melalui pendekatan pelestarian lingkungan, Pemasar seharusnya juga mempertimbangkan secara serius tentang dampak negatif dari suatu value terhadap lingkungan. Pemasar perlu ikut mengambil peran dalam mengedukasi Konsumen mengenai produk-produk apa saja yang masuk dalam kategori ramah lingkungan. Sehingga kemudian fungsi baru dari pasar sebagai wahana pembelajaran bagi Pemasar dan Konsumen untuk lebih peduli terhadap pelestarian lingkungan dapat terbentuk.
Referensi
Abuznaid, S. (2012). Islamic marketing: addressing the Muslim market. An-Najah University Journal of Research (Humanities) , 26(6), 1473-1503.
Ali, A. J., Al-Aali, A., & Al-Owaihan, A. (2013). Islamic Perspectives on Profit Maximization. Journal of Business Ethics , 117(3), 467-475. doi:10.1007/s10551-012-1530-0
Alom, M. M., & Haque, M. S. (2011). Marketing: an Islamic perspective. World Journal of Social Sciences , 1(3), 71-81.
Alserhan, B. A. (2011). The Principles of Islamic Marketing (1st ed.): Routledge, 2011.
El-Menouar, Y. (2014). The five dimensions of Muslim religiosity. Results of an empirical study. methods, data, analyses , 8(1), 26.
Hussnain, S. A. (2011). What is Islamic marketing. Global Journal of Management and Business Research , 11(11), 101-103.
Jafari, A. (2012). Islamic marketing: insights from a critical perspective. Journal of Islamic Marketing , 3(1), 22-34. doi:doi:10.1108/17590831211206563
Kadirov, D. (2019). Islamic Marketing Theories, Practices, and Perspectives : Conscientia Capital Press, 2019.
Saeed, M., Ahmed, Z. U., & Mukhtar, S. M. (2001). International Marketing Ethics from an Islamic Perspective: A Value-Maximization Approach. Journal of Business Ethics , 32(2), 127-142. doi:10.1023/a:1010718817155
Wilson, J. A. J. (2012). The new wave of transformational Islamic marketing: Reflections and definitions. Journal of Islamic Marketing , 3(1), 5-11. doi:doi:10.1108/17590831211225436
Artikel-artikel lainnya dari IslamicMarketing.xyz: Ekosistem untuk Islamic Marketing Bagaimana Memahami Islamic Marketing? Bagaimana Islam Memandang Praktik Pemasaran Tiga Fenomena Di Balik Kemunculan Islamic Marketing
[...]
- Arbeit zitieren
- Coky Alfi (Autor:in), 2020, Tiga Dimensi Utama Dalam Islamic Marketing, München, GRIN Verlag, https://www.grin.com/document/583421
-
Laden Sie Ihre eigenen Arbeiten hoch! Geld verdienen und iPhone X gewinnen. -
Laden Sie Ihre eigenen Arbeiten hoch! Geld verdienen und iPhone X gewinnen. -
Laden Sie Ihre eigenen Arbeiten hoch! Geld verdienen und iPhone X gewinnen. -
Laden Sie Ihre eigenen Arbeiten hoch! Geld verdienen und iPhone X gewinnen. -
Laden Sie Ihre eigenen Arbeiten hoch! Geld verdienen und iPhone X gewinnen. -
Laden Sie Ihre eigenen Arbeiten hoch! Geld verdienen und iPhone X gewinnen. -
Laden Sie Ihre eigenen Arbeiten hoch! Geld verdienen und iPhone X gewinnen.